Intiliputan.id — Sudah enam tahun lamanya, SDN 153 Inpres Bontonompo tutup, bukan karena tak ada murid, tetapi karena nasib bangunannya lebih rumit daripada soal ujian nasional.
Sekolah yang terletak di Kecamatan Polongbangkeng Selatan (Polsel) itu seperti menghilang dari daftar ingatan Pemerintah Daerah Takalar.
Mungkin terselip di antara tumpukan arsip pembangunan jalan atau tergeser oleh prioritas selfie di proyek peresmian.
Entah kenapa, ingatan tentang sebuah sekolah dasar yang disegel ahli waris sejak 2019 lalu itu tak kunjung muncul kembali.
Seolah ingin menjelaskan bahwa pendidikan bukan soal kurikulum, tetapi soal siapa yang lebih kuat, pemerintah atau ahli waris.
Anak-anak sekolah yang seharusnya berhak atas ruang belajar yang layak, kini justru berstatus “Penumpang Tetap”.
Mereka terpaksa harus belajar dibawah bayang-bayang ketidak pastian, lantaran menumpang di gedung milik yayasan swasta.
Hebatnya, meski jiwa dan keselamatan mereka terancam lantaran kondisi bangunan yang termakan usia, para siswa dan guru tetap semangat.
Seolah mereka ingin membuktikan bahwa semangat pendidikan tak butuh gedung mewah, cukup dinding pinjaman dan atap niat baik.
Sementara itu, para pemangku kebijakan sibuk bersidang di ruang ber-AC tentang “revolusi pendidikan”. Tak ayal aksi saling lempar tanggung jawab pun kerap dilontarkan.
Saat ditanya sekaitan hal itu, pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Takalar berkilah bahwa mereka hanyalah pengguna bangunan.
“Soal sekolah yang disegel, kami hanya pengguna bangunan. Untuk lebih jelasnya silahkan konfirmasi bagian aset,” jawabnya.
Sementara itu, Kabid Aset Amirullah menjelaskan bahwa benar tanah itu adalah milik Pemda Takalar dibuktikan dengan surat kepemilikan “Sertipikat”.
“Itu ada Sertipikatnya, kami juga sudah menyurat dan meminta kepolisian agar membuka kembali sekolah tersebut,” singkat Kabid Aset.
Pertanyaan pun kemudian muncul, lantas apa yang menjadi kendala dan alasan Pemda Takalar untuk tidak membuka kembali sekolah itu?
Ahli waris yang menyegel? Mereka sebenarnya hanya menuntut hak yang tak kunjung dibereskan. Tetapi dalam kisah ini, mereka malah digambarkan sebagai penghambat kemajuan.
Ia bukan dilihat sebagai korban dari kelalaian birokrasi panjang yang tak punya ujung. Ironi? Sudah pasti. Tapi ironi yang dibiarkan enam tahun lamanya.
Lucunya, ketika momen perayaan Hari Pendidikan tiba, SDN 153 Inpres Bontonompo Polsel kerap luput dari pidato-pidato inspiratif.
Mungkin karena tak sedap disisipkan dalam narasi “Merdeka Belajar” versi pemda. Merdeka sih, asal bukan dari urusan ganti rugi.
Mungkin sudah waktunya sekolah ini diikutsertakan dalam daftar cagar budaya, bukan karena tuanya gedung, tapi karena panjangnya kisah abai yang membusuk.
Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi kalau pemerintah bisa lupa, siapa kita yang bisa mengingat?
Begitulah, SDN 153 Inpres Bontonompo, tempat di mana kenangan tentang tanggung jawab bisa benar-benar hilang, bahkan tanpa upacara perpisahan.
Para Guru dan orang tua pun menaruh harapan besar, Semoga di Pemerintahan Bupati Daeng Manye dan Hengky Yasin, Sekolah itu bisa kembali menunjukkan jati dirinya agar siswa dan guru bisa benafas lega dan belajar dengan tenang. (*)