TAKALAR, Intiliputan.id — Di tengah semangat menjaga kedaulatan bangsa dan menegakkan hukum, secercah inovasi muncul dari tanah Polongbangkeng Selatan (Polsel) Kabupaten Takalar. Sebuah pertunjukan luar biasa, para penjaga kedaulatan negara kini sibuk menggali tanah demi kedaulatan dompet pribadi.
Tanah para pejuang katanya, namun hari ini terjajah alamnya. Bukan oleh asing, tetapi oleh mereka yang berseragam. Ya, sebut saja oknum TNI-Polri yang telah berhasil merintis startup tambang illegal. Mereka bukan sekadar jaga perbatasan, kini mereka juga sibuk jaga excavator.
Tak perlu kaget, di negeri ini, tidak semua yang berseragam itu menjaga, kadang mereka ikut menikmati. Dan di Polsel, mereka tak sekadar menjaga keamanan tambang, mereka adalah bagian dari ekosistemnya.
Setidaknya, hingga Mei 2025 ini tercatat ada 5 (lima) titik Lokasi tambang yang beroperasi di wilayah Polsel, diantaranya 4 (empat) titk di Kelurahan Bulukunyi dan 1 (satu) titik di Kelurahan Bontokadatto. Yang mencengangkan, diantara kelima titik itu, diketahui beberapa didalangi oleh oknum berseragam.
Warga setempat hanya bisa menatap nanar saat hutan dibabat dan gunung mulai menipis. Tapi siapa yang berani protes? Di sana, suara rakyat kalah keras dibanding deru excavator. Anehnya, tambang itu tak punya izin. Tapi aktivitasnya begitu legal.
Rupanya seragam bukan hanya lambang kehormatan, tapi juga tiket masuk ke dunia bisnis… ya.. tambang galian C ilegal. Konon katanya, lubang-lubang tambang itu bukan ulah warga biasa, melainkan hasil kerja sama yang apik antara penguasa seragam dan alat berat yang tak kenal istirahat.
Tak jarang warga bertanya, “Apakah seragam itu sakral atau serbaguna?” Sebab kini fungsinya bukan hanya menertibkan, tapi juga memuluskan izin yang tak pernah ada. Ketika alat berat masuk, yang pertama datang justru yang berseragam bukan untuk menutup, tapi memastikan jalur lancar.
Sungguh ironis, di negeri ini, hukum itu tajam ke bawah dan ikut menggali ke samping. Karena ketika yang seharusnya menjaga, justru ikut menggali. Kita pun tahu, bukan hukum yang mati, tapi hati nurani yang terkubur duluan.
Siapa sangka di balik seragam loreng dan cokelat, tersembunyi jiwa-jiwa wirausaha yang tangguh? “Hebat betul. Sekali patroli, bisa sekalian gali-gali,” ujar salah satu warga yang kagum namun bingung.
Aktivitas tambang ini tanpa izin, tanpa AMDAL, dan tentu saja tanpa rasa malu. Saat ditanya, salah seorang yang diketahui ditugaskan di bagian check point menjawab, “Kami hanya menjalankan perintah”.
Lucunya, ketika aparat lain datang untuk menertibkan, suasana jadi canggung. Yang satu pegang surat tugas, yang lain pegang linggis. Tapi tenang, mereka saling paham, ini sesama penegak hukum, hanya beda shift saja.
Sementara Pemerintah Daerah memilih bungkam, mungkin sedang sibuk mencari pasal yang tepat antara “melindungi rakyat” atau “melindungi rekan kerja”.
Di warung kopi, warga bercerita soal tentara yang kini lebih paham harga pasir ketimbang strategi tempur. Polisi pun kini lebih mahir menilai kualitas tanah dan batu ketimbang bukti perkara.
Beberapa tokoh masyarakat sempat mencoba bicara, tapi akhirnya malah ikut bermain. Mungkin karena melihat tambang lebih menjanjikan daripada mimbar musyawarah.
Spanduk “TNI-Polri Bersama Rakyat” masih sering tergantung gagah menghiasi jalan-jalan setiap perayaan hari besar kedua instansi itu. Tetapi tenang, itu hanya spanduk, mereka tidak betul-betul Bersama rakyat. Mereka masih sibuk mengangkut hasil bumi yang tak pernah tercatat dalam neraca negara.
Lucunya, setiap kali muncul laporan ke media, aktivitas tambang sempat berhenti. Tapi esoknya, seperti sulap, semua kembali normal, bahkan dengan truk baru dan ekscavator yang kian beringas.
Kabar burung menyebutkan ada “jatah keamanan” yang rutin dibagikan. Tapi burung itu segera ditembak sebelum sempat berkicau lebih jauh. Dan entah kenapa, setiap kali ada razia tambang ilegal, lokasi tambang yang ini selalu “terlupakan”. Mungkin karena terlalu rapi, atau terlalu kebal.
Tapi siapa yang peduli? Selama masih ada yang bisa digali, suara-suara penolakan akan selalu dikubur bersama tanah, air, dan harapan.
Di balik semua itu, ada rakyat kecil yang hanya bisa mengelus dada. Mereka tidak menambang, tidak berjaga, hanya menunggu bencana datang.
Maka kami ucapkan, selamat datang di tanah Polongbangkeng, tempat hukum dibahas di meja tambang, dan seragam menjadi tiket masuk paling sakti ke ladang rejeki ilegal.
Rakyat hanya bisa berharap, semoga ke depan, negara bisa benar-benar hadir, bukan hanya lewat seragam, tapi lewat keberanian menindak yang berseragam. (red/*)