Pembelajaran Ramadan Tuai Pro-Kontra, Ternyata Libur saat Puasa Sudah Ada Sejak Zaman Penjajahan

INTILIPUTAN.ID, TAKALAR — Pemerintah telah memberikan lampu kuning mengenai pembelajaran selama bulan Ramadan.

Sebelumnya, ramai dibicarakan tentang libur Ramadan yang penuh pro-kontra.

100 Hari Kerja Bupati dan Wakil Bupati Takalar

Tapi faktanya, pemerintah mengungkap fakta dan hal lain.

Kebijakan ini bertujuan untuk menyesuaikan jadwal pembelajaran dengan semangat bulan suci tanpa mengurangi proses pendidikan bagi siswa.

Penyesuaian Jadwal Sekolah Selama Ramadan

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak dianggap sebagai libur total.

“Jangan pakai kata libur. Tidak ada pernyataan libur Ramadan, (adanya) pembelajaran di bulan Ramadan. Kata kuncinya bukan libur Ramadan tapi pembelajaran di bulan Ramadan,” ujar Mu’ti di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat 17 Januari 2025.

Saat ini, mekanisme pembelajaran selama Ramadan tengah dirancang oleh pemerintah, melibatkan sejumlah kementerian terkait, seperti Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Agama, serta Kementerian Dalam Negeri.

“Sudah kita bahas lintas kementerian. Sudah ada kesepakatan bersama,” tambah Mu’ti.

Sejarah Belajar di Rumah Saat Ramadan

Kebijakan belajar di rumah selama Ramadan sebenarnya telah ada sejak era kolonial Hindia Belanda pada 1930.

Pemerintah kolonial saat itu memutuskan untuk meliburkan sekolah selama sebulan penuh di bulan Ramadan, dengan tujuan mendekati hati umat Islam sekaligus meredam potensi perlawanan terhadap kolonialisme.

Tradisi libur Ramadan ini bahkan terlihat dalam peristiwa Perang Jawa.

Pangeran Diponegoro, misalnya, mengusulkan kepada Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Marcus de Kock untuk menghentikan sementara diskusi perang selama Ramadan, sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan suci.

Namun, sikap baik Belanda ini memiliki motif politis. Peter Carey, seorang sejarawan Inggris, menyebutkan bahwa pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi Diponegoro agar menyerah tanpa syarat.

Meskipun demikian, dua hari sebelum Lebaran pada 25 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap, menandai akhir Perang Jawa.

Kebijakan Daoed Joesoef: Menghapus Libur Ramadan

Pada periode 1978-1983, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef membuat gebrakan besar dengan meniadakan libur sekolah selama Ramadan.

Langkah ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk tokoh agama, yang khawatir kebijakan tersebut akan mengganggu pelaksanaan ibadah puasa dan kegiatan keagamaan seperti pesantren kilat.

Daoed berpendapat bahwa belajar di sekolah juga merupakan bagian dari ibadah.

Ia merujuk pada perintah pertama Tuhan dalam Al-Qur’an, yaitu Iqra’ (bacalah), yang menurutnya mengajarkan pentingnya belajar.

Muhammadiyah dan PBNU: Pandangan terhadap Kebijakan Ramadan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah ini, dengan menyiapkan paket khusus untuk menggantikan aktivitas belajar-mengajar formal.

Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyebutkan bahwa kegiatan seperti pesantren kilat di masjid atau sekolah tetap akan dilakukan dengan pengawasan guru.

“Kami mendukung, tapi ada tiga poin penting bagi Muhammadiyah, Ramadan harus tetap dijadikan arena untuk mendidik akhlak, budi pekerti, dan mendidik karakter,” kata Haedar.

Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan membahas wacana ini lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar pada 5-7 Februari 2025.

Ketua PBNU Ahmad Suaedy menyatakan bahwa berbagai isu terkini, termasuk kebijakan belajar di rumah selama Ramadan, akan menjadi salah satu topik diskusi.

“Nanti 5 Februari kita akan Munas Konbes. Jadi ada berbagai masalah dibahas termasuk hal-hal seperti ini,” ujarnya. (*)

Redaksi